26 Mei 2012

Staf Pusat Studi Al-Quran

Menarik sekali sasaran zakat kepada para fakir-miskin dan tidak berkecukupan serta menanggung utang yang ada dalam QS Al-Taubah 9:6, sebagai manifestasi dari social welfare (kesejahteraan sosial). Outputnya berupa distribusi produktifitas sumber daya ekonomi secara merata sehingga tidak terpusatkan pada sebagian kelompok tertentu saja.

Selain itu, secara individual seseorang akan dibersihkan (tuthahhiruhum) dari sikap boros dan kikir. Dan yang terpenting, para muzakki menjadi agen penting dalam menata sistem ekonomi yang kuat (watuzakkîhim) agar terhindar dari sistem oligopoli dan monopoli (QS 9 : 103)


Karenanya zakat dianggap sebagai simbol dari fiscal policy sebagai sarana pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menciptakan mekanisme yang bersifat built-in untuk tujuan pemerataan di atas tadi. Ini diindikasikan dengan ketentuan zakat berupa prosentase dari nishab dan bukan jumlah uang tertentu, menunjukkan betapa sistem ini tidak akan terpengaruhi oleh krisis ekonomi.

Nah, misi profetik zakat tersebut, dipadatkan oleh Kuntowijo (1998) dalam konsep theosentrik-humanisme. Menurutnya, Islam adalah agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (theosentrik), namun jangan lupa, mempunyai korelasi kuat dengan respektasi atas nestapa kemanusiaan (humanisme)dalam masyarakat.

Institusi zakat tidak hanya diberdayakan dengan motivasi yang bersifat eskatologis. Akan tetapi secara mendasar terkandung misi pengentasan kemiskinan agar tercipta kehidupan yang layak dan berkeadilan. Ia bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan salah satu dari lainnya. Zakat dimaknakan sebagai donasi wajib yang mempunyai nilai ritus dan sosial sekaligus.

Kesalehan Sosial

Titik balik dari misi profetik zakat adalah kesalehan sosial. Karena kesalehan individual kerap menyilaukan hakikat kemanusiaan itu sendiri. Dalam QS al-Maân ayat 1-3 ditegaskan bahwa orang yang shalat yang tak peduli pada kaum dhuafa dianggap telah mendustakan agama.

Dengan kesalehan sosial itu, sistem ekonomi akan terhindar dari penumpukan harta oleh sebagian kelompok tertentu. Sistem ekonomi yang timpang kerapkali menimbulkan kesenjangan ekonomi pada struktur kehidupan masyarakat. Di Indonesia, kecendrungan akan hal itu sering diistilahkan dengan "Kemisikinan Struktural".

Pada kondisi ini, seringkali orang miskin sulit mengakses sumber daya ekonomi, meskipun mereka mempunyai kemampuan dan keinginan ke arah itu. Karena pada saat yang bersamaan sistem ekonomi yang tersedia, memaksa dirinya untuk terus menerus menjadi miskin !. Mereka sebagai entitas yang stagnan dan pasif karena struktur kehidupan sosial-politik, tidak menyediakan ruang yang memadai bagi dirinya.

Mereka terpaksa menjadi kemunitas yang lemah ketika berhadap-hadapan dengan kepentingan kelompok yang lebih kuat secara ekonomi dan politik. Tak pelak lagi, kecuali penyelesaian yang dilakukan dengan distribusi langsung sebagai bentuk charity, juga dengan pengentasan secara sistemik yang menyentuh akar persoalan dari sebuah kemiskinan itu sendiri.

Saya kira, distribusi zakat pada sektor produktif dapat mere-covery sistem ekonomi yang secara mendasar telah melahirkan ribuan rakyat miskin. Karena produktifitas zakat menyediakan ruang memadai bagi kaum dhuafa untuk melakukan aktifitas ekonomi.

Meski produktifitas zakat terbilang baru dalam diskursus fikih zakat di tanah air, tapi analisi hukumnya terbilang argumentatif. Terdapat illat (alasan) hukum baru yaitu "tidak memberikan ikan, tapi kaila" sehingga tidak tergantung terus-menerus pada dana zakat. Satu saat mereka jadi mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dan tidak mustahil menjadi muzakki (orang yang kena wajib zakat) di masa mendatang.

Pembebasan Kaum Tertindas

Urgensi zakat juga terletak pada apa yang kemudian diistilahkan oleh Farid Essack (1992), sebagai teologi pembebasan bagi kelas mustadafin pada rezim apartheid, Afrika Selatan. Waktu itu, kelas mustad'afin,didefinisikan sebagai masyarakat yang secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya telah tertindas oleh kelompok dzalim (korup).

Pergerakan kelas yang hendak diemban dengan institusi zakat adalah membebaskan kelas mustadafindalam maknanya yang luas. Karena institusi zakat tidak berhenti pada tataran normatif yang disinyalir akan melahirkan sikap kemanusiaan yang artifisial, tetapi pada tataran obyektif-empiris yang diproyeksikan untuk meraih egaliterianisme dalam setiap tindakan ekonomi.

Kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugrahkan Tuhan, mendapat perhatian yang serius. Karena, ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam.. Keberadaan dan pemanfaatan harta tidak bisa tertumpu pada golongan tertentu.

Perbedaanya dengan pergerakan kelas Marxisian, institusi zakat tidak menghendaki diktator proletariat dan merampas hak kaum berjuis (baca kaum berpunya). Pemerataan distribusi tidak dimanipulasi untuk kepentingan diktator proletariat seperti yang terjadi di negara sosialis.

Institusi zakat mengemban pembebasan kelas yang berorientasikan pada kesehatan harta dan tetap memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada prestasi setiap individu. Setiap orang boleh mengerahkan segala usahanya dalam lini produksi-konsumsi, asal saja dimbangi oleh usaha serius dalam pengentasan kemiskinan di sekelilingnya.

Walhasil, ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi yang akan melahirkan kemiskinan akan tereduksi secara bertahap. Namun, ini tidak bermaksud menciptakan pergerakan kelas yang mengancam kelas-kelas sosial lain yang lebih tinggi hak penguasaannya akan sumber daya ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Al - Faraby Institute © 2010 Template by:
Hope Site